Keterangan Foto: Advokat Muhammad Pilipus Tarigan,S.H.,M.H.
Muhammad Pilipus Tarigan,SH.,MH. : Sepanjang Pengacara itu Menjabat Jabatan Publik, maka Pengacara harus Meminta Cuti kepada Organisasi ADVOKAT.
Jakarta - Pengacara, notaris dan akuntan publik tidak harus langsung berhenti praktek saat menjadi caleg. Mereka cukup menyerahkan surat kesediaan berhenti praktek bila terpilih.
"(Berhenti) Kalau sudah diterima, kalau sudah ditetapkan. Menyatakan kesediannya harus sudah dari sekarang ketika menjadi bakal calon. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan atau tidak menjadi pejabat lain," ujar anggota KPU Abdul Azis ketika dikonfirmasi detikcom, beberapa waktu lalu
Azis menambahkan, profesi yang harus menyatakan kesediaannya untuk tidak berpraktek ketika sudah terpilih menjadi anggota DPR, DPRD dan DPD itu adalah akuntan publik, advokat/pengacara, dan notaris pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
"Karena itu dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kalau sekarang belum. Surat kesediaan untuk tidak berpraktek itu sudah harus dilampirkan, bermaterai, ketika mendaftar," imbuhnya.
Jika profesi pengacara, akuntan publik dan notaris PPAT menyatakan kesediaan untuk tidak berpraktek, lanjut Azis, maka pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/Polri atau pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lembaga yang keuangannya bersumber dari negara sudah harus mengundurkan diri.
"Harus melampirkan surat dari atasan yang menyatakan pengunduran diri sedang diproses. Kalau PNS atau TNI/Polri kan masih menerima gaji sampai ada SK yang ditandatangani atasan," jelas Azis.
Azis mengatakan, "Harus dicari apakah dia menyatakan kesediaan untuk tidak berpraktek. Bakal calon menyatakan kesediaan kalau sudah di DPR harus sudah tidak berpraktek".
Pasal 50 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu yang dimaksud Azis terdapat pada huruf l. Yang menyatakan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota 'bersedia untuk tidak berpraktek menjadi akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan'.
Keterangan Foto: Advokat Pilipus Tarigan,S.H.,M.H.
Terkait dengan. Hal tersebut, Advokat senior Pilipus Tarigan, S.H.,M.H mengimbau Pengacara yang maju jadi Calon Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak boleh ada standar ganda. “Semua Warga Negara Indonesia (WNI) punya hak konstitusional untuk menjadi kepala daerah atau menjadi pejabat apa pun dalam jabatan kenegaraan. Baik mau jadi Menteri, Gubernur maupun Presiden. Bahkan di Amerika Serikat (AS) pun ADVOKAT ada yang menjadi Presiden dan tidak ada masalah,” jelas Pilipus Tarigan,SH.,MH.
Menurutnya, Pengacara itu terikat kepada Kode Etik dan Undang-Undang (UU) Advokat Nomor 18 Tahun 2003. “Sepanjang Pengacara itu menjabat dalam jabatan publik, maka Pengacara harus meminta cuti kepada Organisasi ADVOKAT. Selama Pengacara itu menjalankan jabatan kenegaraan itu, sehingga Pengacara tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai Pengacara,”ujarnya.
Ditambahkannya, Pengacara sebagai anggota organisasi ADVOKAT, itu berbeda. “Yang tidak boleh itu melakukan tindakan-tindakan ADVOKAT baik litigasi maupun non litigasi. Jadi sepanjang Pengacara itu cuti itu tidak dilarang oleh UU ADVOKAT Nomor 18 Tahun 2003,” ungkapnya.
“Tidak boleh ada standar ganda. Karena apa? Karena ketika Pengacara itu menjadi seorang kepala daerah dan menjadi Pengacara juga, tentu dia bisa diintervensi oleh penegak hukum. Ada namanya Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Di sana para penegak hukum dan unsur-unsur Muspida suka bertemu dan berkoordinasi untuk kepentingan daerah. Jadi ketika Pengacara yang maju jadi Calon Kepala Daerah masih bisa melakukan litigasi, itu akan terjadi benturan kepentingan atau conflict of interest. Itu intinya. Tapi sebagai WNI, Pengacara berhak mencalonkan diri sebagai Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden,” katanya.
Menurut Pilipus, di AS sendiri pun, ada ADVOKAT yang menjadi Presiden. “Kalau ada anggota law firm saya mau maju jadi Calon Kepala Daerah sama saja, mereka masih tetap punya hak sama seperti itu. Bahkan Pengacara yang mau maju jadi Calon Kepala Daerah, Calon Anggota Legislatif (Caleg) harus cuti selama menjabat. Bahkan tidak hanya menjadi Caleg ataupun Calon Kepala Daerah, Komisioner di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), Komisioner Kejaksaan Agung (Komja) dan Komisi Yudisial (KY), Pengacara menjadi bagian dari itu, maka Pengacara harus cuti, dan tidak boleh melakukan praktek-praktek ADVOKAT. Itu ada di Pasal UU ADVOKAT Nomor 18 Tahun 2003 yang mengatakan, “Seorang ADVOKAT harus mengambil cuti ketika ADVOKAT menjabat jabatan negara atau menjadi Presiden” dan ada juga di Kode Etik ADVOKAT,”jelasnya.
“Harapannya, seorang ADVOKAT itu mengerti hukum. Jadi ketika menjadi Calon Kepala Daerah, Caleg maupun jadi Calon Kepala Negara, maka fungsi peran penegakan hukum diharapkan akan lebih baik lagi. Karena hukum bukan berarti digunakan di belakang. Artinya, ada masalah hukum baru digunakan hukum. Tapi bagaimana aturan-aturan hukum mengena kepada masyarakat. Aturan yang bisa dilaksanakan oleh masyarakat, bagaimana Kepala Daerah tunduk kepada Peraturan Daerah (Perda) yang berkeadilan yang dibuktikan oleh masyarakat dan tidak Perda yang berpihak kepada kepentingan masyarakat,”bebernya.
Bukan membuat Perda untuk kepentingan kapitalis, sambungnya, biar berimbang. “Tapi tentu Perda berkeadilan untuk semua karena hukum berlaku universal.Dikatakannya, kalau Pengacara itu maju menjadi ketua partai politik (parpol), tidak ada aturan tegas mengenai jabatan itu.(Red).
.