Jakarta - Keputusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan enam anggota KPU diantaranya Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon, Idham Holik, Muhammad Afifuddin, serta Parsadaaan Harahap terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggaraan di pemilu 2024 karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres dalam aturan yang ada.
Keputusan tersebut menciptakan berbagai dugaan adanya penyelewengan terhadap konstitusi sehingga yang berimplikasi pada hasil putusan MK nomor 90 tahun 2023. KPU seharusnya terlebih dahulu mengubah PKPU terkait syarat usia capres dan cawapres usai keluarnya putusan MK tersebut. Namun sangat disayangkan KPU justru langsung mengeluarkan pedoman teknis dan himbauan untuk mematuhi putusan MK.
“Dari jauh hari saya rasa sudah sangat jelas, sedari awal hubungan majunya saudara Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden yang juga menyandang status putra pertama Presiden Jokowi Widodo dengan regulasi PEMILU yang ada baik putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 ataupun Undang - Undang PEMILU sudah dinyatakan cacat secara formil sehingga dikhawatirkan akan terjadi kecacatan formil lanjutan dalam mekanisme pencalonannya,” ujar Rolis Sembiring Ketua DPC GMNI Malang Raya.
Dalam point pertimbangan yang disampaikan oleh DKPP menjelaskan, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023. Hal itu sangat diperlukan, agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 selaku aturan teknis pilpres dapat segera direvisi akibat dampak putusan MK. Terdapat kejanggalan periode waktu yang dilakukan oleh para teradu karena para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau tujuh hari setelah putusan MK disahkan.
Menurut anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi alasan KPU perihal keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah putusan MK, tidak bisa diterima oleh DKPP karena ketidaktepatan alasan tersebut.
Tindakan yang dilakukan oleh para komisioner KPU karena terlebih dahulu menyurati pimpinan partai politik, sebagai tindakan yang melenceng dari peraturan KPU. KPU RI seharusnya responsif terhadap kegentingan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024.
Sikap keberpihakan penyelenggara Komisi Pemilihan Umum dapat menyebabkan adanya pandangan ketidaknetralan dalam menyelenggarakan segala acara PEMILU kedepannya, bahkan dapat menimbulkan indikasi akan adanya kecurangan pada hasil PEMILU 2024.
Rolis Sembiring selaku Ketua DPC GMNI Malang Raya juga mengatakan KPU harus responsif dalam menanggapi gejolak permasalahan ini. “Maka jika KPU tidak responsif terhadap hasil keputusan ini akan sangat mungkin akan ada pelanggaran terhadap hukum dan peraturan lainnya.” tegasnya.
Dikala tengah ramainya sanksi peringatan keras yang diberikan DKPP kepada Ketua KPU RI, justru Ketua KPU RI masih belum mengambil sikap perbaikan moral terhadap putusan tersebut dan enggan mengomentari hasil putusan.
“Seharusnya saudara Hasyim Asy’ari berani mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI karena perilaku yang sudah ia tunjukkan ke publik dengan melancarkan proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden sangat memperlihat bagaimana konstitusi di Negara Indonesia sudah dilucuti habis dan demokrasi sudah ditenggelamkan, sehingga dikhawatirkan jika terus berlanjut akan mengancam stabilitas nasional,“ pungkas Rolis Sembiring selaku Ketua Cabang GMNI Malang Raya.(red)