Yogyakarta - Sosialisasi tentang pencegahan Stunting terus dilakukan oleh pemerintah melalui BKKBN bersama mitra kerja DPR RI. Kali ini menyasar warga Kelurahan Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Hadir sebagai narasumber yaitu Kepala DP3AP2 Kab. Sleman, Wildan Solichin, S.IP, MT; Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi D.I.Yogyakarta, Dra. Andi Ritamariani, M.Pd; Inspekur Utama BKKBN, Ari Dwikora Tono, Ak, M.Ec, Dev; dan Anggota Komisi IX DPR RI, Sukamto, SH.
Inspekur Utama BKKBN, Ari Dwikora Tono, Ak, M.Ec, Dev menjelaskan, dalam rangka percepatan penurunan stunting, pada 2024 pemerintah menargetkan angkanya 14 persen. Keberhasilan program tersebut menentukan langkah besar untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
"Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama pada masa 1.000 hari pertama kehidupan sejak kehamilan hingga bayi berusia dua tahun. Stunting menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Akibat kekurangan gizi menahun, balita stunting tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita umumnya," ujarnya, Kamis (25/1/2024) di Balai RK Bangirejo, Kelurahan Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta.
Ia menambahkan, untuk mencetak SDM Indonesia yang unggul, masyarakat perlu memahami 1.000 hari pertama kehidupan. Kurun waktu selama dua tahun itu disebut sebagai masa yang sangat menentukan bagi tumbuh kembang bayi. Menurutnya, upaya mencegah stunting perlu dimulai sejak dini. Bayi usia nol sampai enam bulan harus diberikan Air Susu Ibu (ASI) sebab ASI membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh. Hindari pemberian susu formula.
Terkait penurunan stunting, Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Dra. Andi Ritamariani M.Pd mengajak masyarakat agar tidak kendor dalam upaya menurunkan angka Stunting karena target nasional adalah 14 persen. Ia menambahkan terbitnya Perpres Nomor 72 tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting, kini penanganan stunting dilakukan berbasis keluarga, sehingga Kepala BKKBN pusat ditunjuk sebagai koordinator.
Ritamariani juga mengajak remaja untuk memperhatikan usia menikah ideal bagi perempuan yang nantinya akan hamil dan melahirkan, yaitu minimal 21 tahun. Menurutnya, pada usia tersebut pertumbuhan tulang panggul sudah sempurna sehingga siap untuk hamil dan melahirkan.
Pada kesempatan yang sama, Kepala DP3AP2 Kab. Sleman, Wildan Solichin, S.IP, MT berpendapat bahwa persoalan stunting bukan soal kaya atau miskin tetapi pola asuh yang salah sehingga mempengaruhi perilaku pola makan dan berdampak pada asupan gizi anak-anak.
“95 persen stunting di Kabupaten Sleman bukan terjadi pada keluarga miskin. Misalnya di wilayah Minggir sebagai lumbung Kabupaten Sleman, anak-anak stunting disebabkan dititipkan kepada neneknya, karena ayahnya harus bekerja di sawah sedangkan sang ibu ke pasar. "Änak dititipkan ke simbah-nya yang tidak mengetahui asupan gizi. Sing penting putune meneng. Diberi jajan nggak ada gizinya,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Sukamto, SH dalam arahannya mengingatkan masyarakat agar menjaga kesehatan ibu hamil. Selain pendampingan dari suami, ibu hamil juga perlu rutin periksa kandungan ke Puskesmas. “Yang namanya stunting itu pasti memberatkan keluarganya,” pungkas Sukamto. (**)